Indonesia - Malaysia : Diplomasi Indonesia 'Innocent' atau Bodoh?
Langkah diplomasi pemerintah Indonesia terhadap Malaysia terkait masalah penangkapan petugas Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP) oleh polisi air Malaysia dinilai tidak tegas.
Hal ini disampaikan pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dalam diskusi bertajuk 'Nasib TKI dan Birokrasi Setengah Hati' di Jakarta, Sabtu (28/8). "Diplomasi setengah hati, sulit membedakan antara ramah dengan bodoh atau innocent dengan bodoh," ujar Hikmahanto.
Menurutnya, tidak jelasnya lokasi penangkapan petugas DKP dan 7 nelayan Malaysia, menjadikan kedua pemerintah saling mengklaim bahwa lokasi perairan tempat penangkapan terjadi di wilayahnya masing-masing.
Sebagaimana diketahui, Kapal Dolphin yang digunakan petugas DKP untuk berpatroli saat itu, dilengkapi dengan GPS yang tidak berfungsi, sehingga mereka hanya mengandalkan peta di tengah lautan. "Bagaimana mungkin mengandalkan peta di tengah laut," imbuh Hikmahanto.
Sementara, Pemerintah Malaysia yang juga bersikukuh bahwa pihaknya melakukan penangkapan terhadap petugas DKP di wilayah perairannya, menegaskan mampu membuktikan hal tersebut. "Kalau tiba-tiba Malaysia bisa membuktikan memang terjadinya di kedaulatan Malaysia, itu membuat kita malu," tandasnya.
"(Pada) 18 Agustus lalu Menteri Luar Negeri mengatakan penangkapan di kedaulatan kita, tapi di situ terkuak petugas kita dimodalkan GPS mati. Kalau petugas kita mengandalkan peta, jangan-jangan itu tidak terjadi di wilayah negara kita," kata pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana dalam diskusi bertajuk 'Nasib TKI dan Diplomasi Setengah Hati' di Jakarta, Sabtu (28/8).
Selain itu, Hikmahanto menilai pemerintah kurang tegas dalam melakukan diplomasi atas penyelesaian masalah penangkapan petugas KKP oleh Malaysia dan penangkapan 7 nelayan Malaysia oleh Indonesia pada saat yang sama, Jumat (13/8) lalu. "Jadi kalau itu wilayah kedaulatan Indonesia, kenapa nelayan itu dilepaskan, yang dipersepsikan oleh publik bahwa ini terjadi barter," katanya.
sumber:
inilah.om
Hal ini disampaikan pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, dalam diskusi bertajuk 'Nasib TKI dan Birokrasi Setengah Hati' di Jakarta, Sabtu (28/8). "Diplomasi setengah hati, sulit membedakan antara ramah dengan bodoh atau innocent dengan bodoh," ujar Hikmahanto.
Menurutnya, tidak jelasnya lokasi penangkapan petugas DKP dan 7 nelayan Malaysia, menjadikan kedua pemerintah saling mengklaim bahwa lokasi perairan tempat penangkapan terjadi di wilayahnya masing-masing.
Sebagaimana diketahui, Kapal Dolphin yang digunakan petugas DKP untuk berpatroli saat itu, dilengkapi dengan GPS yang tidak berfungsi, sehingga mereka hanya mengandalkan peta di tengah lautan. "Bagaimana mungkin mengandalkan peta di tengah laut," imbuh Hikmahanto.
Sementara, Pemerintah Malaysia yang juga bersikukuh bahwa pihaknya melakukan penangkapan terhadap petugas DKP di wilayah perairannya, menegaskan mampu membuktikan hal tersebut. "Kalau tiba-tiba Malaysia bisa membuktikan memang terjadinya di kedaulatan Malaysia, itu membuat kita malu," tandasnya.
"(Pada) 18 Agustus lalu Menteri Luar Negeri mengatakan penangkapan di kedaulatan kita, tapi di situ terkuak petugas kita dimodalkan GPS mati. Kalau petugas kita mengandalkan peta, jangan-jangan itu tidak terjadi di wilayah negara kita," kata pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana dalam diskusi bertajuk 'Nasib TKI dan Diplomasi Setengah Hati' di Jakarta, Sabtu (28/8).
Selain itu, Hikmahanto menilai pemerintah kurang tegas dalam melakukan diplomasi atas penyelesaian masalah penangkapan petugas KKP oleh Malaysia dan penangkapan 7 nelayan Malaysia oleh Indonesia pada saat yang sama, Jumat (13/8) lalu. "Jadi kalau itu wilayah kedaulatan Indonesia, kenapa nelayan itu dilepaskan, yang dipersepsikan oleh publik bahwa ini terjadi barter," katanya.
sumber:
inilah.om
0 Response
Post a Comment